Main Article Content

Abstract

Permasalahan tentang klausul sosial dan lebih umum lagi mengenai integrasi standarstandar sosial dalam hubungan kerja, telah mengambil topik-topik baru dengan adanya kesimpulan persetujuan putaran Uruguay dalam rangka negosiasi GATT Multilateral. Liberalisasi dunia perdagangan dan melonjaknya persaingan internasional yang diakibatkan oleh persetujuan ini pada kenyataannya telah mengundang berbagai pendapat tentang perlunya tindakan-tindakan sosial. Pendapat tersebut mengatakan bahwa pada era deregulasi dari ekonomi globalisasi ini adalah satu keharusan untuk memberikan peraturan perdagangan internasional yang bisa menjamin dihormatinya (diindahkannya) hak-hak fundamental bagi manusia di lapangan kerja. Adanya peraturan-peraturan yang tidak mengindahkan hak-hak dasar buruh dan adanya tuntutan liberalisasi perdagangan telah mendorong negara-negara maju khususnya Amerika Serikat (AS) untuk mengkaitkan keduanya. Atas dasar pemikiran tersebut muncul ide memasukkan klausul sosial kedalam kesepakatan perdagangan multilateral (WTO) yang di ajukan oleh Internasional Confederation of Free Trade Organization disingkat ICFTU yaitu suatu organisasi internasional yang mengangkat isu perburuhan. Ide ini mendapat dukungan dari negara-negara maju terutama AS dan Perancis. ICFTU berpendapat bahwa klausul sosial merupakan standar-standar dasar internasional yang menunjukkan hak-hak dasar para pekerja. Pemasukan klausul sosial tersebut tidak merupakan penyamaan secara global mengenai upah minimum dan syarat-syarat kerja, melainkan hanya merupakan ikhtiar untuk melindungi hak-hak dasar buruh dalam era perdagangan bebas dimana pemerintah suatu negara dalam persaingan dagang memperoleh keuntungan melalui cara-cra yang menindas, mendiskriminasi dan mengeksploitasi hak-hak buruh. Ide memasukkan klausul sosial ke dalam persetujuan dagang tidak berjalan mulus karena mendapat penolakan Asia, bahkan oleh negara-negara Asia yang industri dan perdagangannya telah maju. Bagi negara-negara yang tidak sependapat dengan ide pemasukan klausul sosial ke dalam kesepakatan internasional berpendapat bahwa ide memasukkan kalusul sosial dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dibalik klausul sosial tersebut yakni sebagai upaya untuk menetralisir keunggulan komparatif mereka dalam bentuk upah buruh yang relatif rendah. Mereka menentangnya sebagai bentuk proteksi terselubung sehingga meniadakan hasil perluasan akses pasar yang telah dicapai dengan susah payah melalui putaran Uruguay. Memasukkan kalusul sosial dalam kesepakatan perdagangan internasional (WTO) sebagai upaya perbaikan hak-hak buruh tidak akan efektif memperbaiki hak-hak buruh. Antara perdagangan bebas dengan hak-hak buruh merupakan dua kepentingan yang berbeda. Keduanya tidak dapat berjalan berdampingan. Dalam perdagangan, perinsip yang dianut adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi yang serendah-rendahnya . Buruh sebagai salah satu faktor produksi, termasuk yang menjadi penekanan biaya. Sedang dalam perinsip hak-hak buruh, bagaimana buruh mendapatkan hak-haknya secara layak sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan atas hak azasinya. Karena itu memasukkan klausul sosial kedalam kesepakatan perdagangan internasional hanya akan menguntungkan negara-negara pengusul (AS dan Uni Eropa) untuk memproteksi kepentingan ekonominya ketimbang untuk memperjuangkan hak-hak buruh

Keywords

KESEPAKATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL PERBAIKAN HAK-HAK BURUH

Article Details